Rabu, Desember 02, 2009

Kaos Oblong Distro....

Bingung cari kaos oblong...?
Kaosnya gitu-gitu aja..?
Mau kaos yang beda dari yang lain...?
Klik aja di sini...





Klo ga, Klik aja gambar di bawah ini..





Atau coba disini aja...
Pasti seru..


Selasa, Agustus 25, 2009

Hukum-Hukum Seputar Ibadah Shaum


Dalil kewajiban shaum.

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Siapa saja di antara kalian yang melihat hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah. (QS al-Baqarah [2]: 185).

Dalil shaum juga didasarkan pada hadis penuturan Ibn Umar ra. yang menyatakan:

«اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهاَدَةِ اَنْ لاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ، وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَاِقاَمِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتاَءِ الزَّكاَةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضاَنَ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; beribadah haji; dan shaum Ramadhan.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Shaum wajib Bagi yang Balig dan Berakal

Karena itu, secara pasti shaum merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah balig dan berakal. Dalam hal ini, anak-anak dan orang gila tidak wajib untuk berpuasa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:

«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِي حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ»

Telah diangkat pena (taklif hukum) atas tiga orang: dari anak kecil hingga balig; dari orang yang tidur hingga dia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras. (HR Abu Dawud).

Wanita Haid dan Nifas Tidak Wajib Puasa

Wanita haid dan nifas juga tidak wajib berpuasa, karena puasa bagi mereka adalah tidak sah. Jika mereka telah suci dari haid maka mereka wajib meng-qadha’ puasa yang ditinggalkannya. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«فِي الْحَيْضِ كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ»

Karena haid, kami telah diperintahkan untuk meng-qadha’ shaum, tetapi kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Siapa Yang Diwajibkan Mambayar Fidyah ?

Siapa saja yang tidak kuasa untuk berpuasa karena suatu kondisi tertentu, seperti orang yang sudah sangat tua/lanjut usia, yang menjadikan shaum baginya sangat berat, lalu orang yang sakit yang penyakitnya tidak mungkin disembuhkan, maka mereka juga tidak wajib untuk berpuasa; tetapi mereka wajib untuk membayar fidyah sebagai gantinya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah SWT:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu hal yang berat/kesempitan bagi kalian. (QS al-Hajj [22]: 78).

Allah SWT juga berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Bagi orang-orang yang menanggung beban berat dalam berpuasa, mereka wajib memberikan fidyah, yakni memberi makan orang miskin. (QS al-Baqarah [2]: 184).

Ada juga hadis penuturan Ibn Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«وَمَنْ اَدْرَكَهُ الْكِبَرُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ صِيَامَ رَمَضاَنَ فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّ مِنْ قَمْحٍ»

Siapa saja yang telah mencapai usia lanjut, lalu dia tidak kuasa untuk melaksanakan puasa Ramadhan, maka ia wajib untuk mengeluarkan satu mud gandum setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

Ibn Umar ra. juga menuturkan hadis:

«اِذَا ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ اَطْعِمْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا»

Jika seseorang lemah dalam melaksanakn shaum, hendaknya ia memberikan makan kepada orang miskin satu mud setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

Dari Anas ra. juga dikatakan:

«أَنَّهُ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ عَامًا قَبْلَ وَفاَتِهِ فَافْطَرَ وَاَطْعَمَ»

Ia tidak berdaya untuk melaksanakan shaum sepanjang tahun sebelum wafatnya, lalu ia berbuka dan memberi makan makan orang miskin. (HR ath-Thabrani dan al-Haitasmi).

Siapa Yang diwajibkan Qodho Puasa ?

Jika seseorang tidak kuasa untuk berpuasa karena sakit dan ia khawatir sakitnya bertambah parah, ia juga tidak wajib untuk berpuasa, karena di dalamnya ada rasa berat sehingga dia boleh berbuka. Kemudian, jika dia sembuh maka dia wajib untuk meng-qadha’-nya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Siapa saja di antara kalian yang sakit, atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia mengganti puasanya pada hari yang lain sejumlah yang ditinggalkannya. (QS al-Baqarah [2]: 184).

Jika seseorang sedang berpuasa, lalu ia jatuh sakit, ia boleh berbuka, karena keadaan sakit memang membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.

Bagaimana Shaum Bagi yang Safar (melakukan Perjalanan ) ?

Sementara itu, berkaitan dengan seorang musafir, jika safar yang dilakukannya tidak mencapai empat barid atau 80 kilometer, ia wajib tetap berpuasa; ia tidak boleh berbuka. Alasannya, karena safar/perjalanan yang menghasilkan adanya rukhshah (keringanan) untuk berbuka adalah safar syar‘i (bukan semata-mata safar, peny.), yakni empat barid, yang setara dengan 80 km. Jika seorang musafir melakukan safar sejauh 80 km atau lebih maka ia boleh untuk tetap berpuasa dan boleh juga berbuka. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:

`

«اِنَّ حَمْزَةَ اِبْنِ عَمْرُوْ اْلاَسْلَمِي قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَأَصُوْمُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَاِنْ شِئْتَ فَاَفْطِرْ»

Sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Islami pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, “Perlukah aku berpuasa di dalam perjalanan?” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau mau, berpuasalah. Jika engkau mau, berbukalah.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ashab as-Sunan).

Berpuasa Bagi Yang Safar Lebih Utama ?

Bagi musafir yang puasanya tidak menjadikan dirinya merasa berat/sempit maka tetap berpuasa adalah lebih utama. Sebab, Allah SWT telah berfirman:

وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ

Berpuasa itu adalah lebih baik bagi kalian. (QS al-Baqarah [2]: 184).

Sebaliknya, jika puasanya ternyata telah membebani dirinya, maka dia lebih utama untuk berbuka. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:

«مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ بِرَجُلٍ تَحْتَ شَجَرَةٍ يُرَشُ عَلَيْهِ الْماَءُ فَقَالَ: مَا بَالَ هَذَا؟ قَاُلْوا: صَائِمٌ. فَقَالَ: لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ»

Dalam sebuah perjalanan Rasulullah saw. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang berteduh di bawah pohon sambil menyiramkan air ke tubuhnya. Beliau lalu bertanya, “Mengapa orang ini?” Para Sahabat menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Mendengar itu, Beliau kemudian bersabda, “Tidak baik berpuasa dalam perjalanan.” (HR an-Nasa’i).

Bagaimana Qodho Wanita Hamil ?

Adapun wanita hamil dan menyusui, mereka boleh untuk berbuka, lalu meng-qadha’-nya di luar bulan Ramadhan, baik karena ia khawatir atas dirinya, khawatir atas dirinya dan bayinya, atau semata-mata khawatir atas bayinya; atau bahkan ia tidak memiliki kekhawatiran apapun. Pasalnya, kebolehan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa semata-mata didasarkan pada statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui, tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki kekhawatiran ataukah tidak (akan kondisi dirinya dan bayinya, peny.). Ketentuan ini didasarkan pada apa yang telah dikukuhkan oleh hadis Nabi saw. dalam Ash-Shahihayn, sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik al-Ka‘bi. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحاَمِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ»

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan keringanan bagi musafir dalam shaum dan sebagian shalatnya, sementara keringanan bagi wanita hamil dan menyusui adalah dalam shaumnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas tidak memberikan batasan tertentu terkait dengan kebolehan seseorang untuk tidak berpuasa. Hadis tersebut bahkan menyebutkan kebolehan itu secara mutlak bagi wanita hamil dan menyusui, semata-mata karena statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui.

Lalu terkait dengan kewajiban wanita hamil dan menyusui untuk meng-qadha’ shaum yang ditinggalkannya, hal itu didasarkan pada alasan bahwa mereka memang wajib untuk berpuasa. Ketika mereka memutuskan untuk tidak berpuasa, maka puasa menjadi utang bagi mereka, yang tentu wajib dibayar dengan cara di-qadha’. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. yang menyatakan:

«اِنَّ اِمْرَأَةً قاَلَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَنِّ اُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذَرٍ، أَفَاَصُوْمُ عَنْهَا؟ فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْكاَنَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ اَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكَ عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَصُوْمِي عَنْ اُمِّكِ»

Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw., ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki kewajiban berpuasa nadzar. Perlukah aku berpuasa untuk membayarkannya?” Rasul menjawab, “Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki utang, lalu engkau membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi utangnya?” Wanita itu menjawab, “Tentu saja.” Rasul lalu bersabda, “Karena itu, berpuasalah engkau untuk membayar utang puasa ibumu.” (HR Muslim).

Kemudian, tidak adanya kewajiban atas wanita hamil dan menyusui untuk membayar fidyah, hal itu karena dalam hal ini memang tidak ada nash yang menunjukkannya.

Bagaimana Keharusan merukyat hilal bulan Ramadhan.?

Shaum Ramadhan hanya diwajibkan atas kaum Muslim saat sudah terlihat hilal (bulan sabit tanggal 1) bulan Ramadhan. Jika pada saatnya hilal Ramadhan terhalang dari pandangan manusia, maka kaum Muslim wajib menggenapkan bilangan bulan Sya‘ban (menjadi 30 hari), lalu besoknya mereka harus sudah mulai berpuasa. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ، وَلاَ تَسْتَقْبِلُوْا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً»

Berpuasalah kalian karena merukyat hilal dan berbukalah kalian (mengakhiri puasa Ramadhan, peny.) juga karena melihat hilal (bulan sabit tanggal 1 Syawal, peny.). Jika hilal terhalang dari pandangan kalian maka genapkanlah bilangan bulan Sya‘ban. Janganlah kalian kalian menyambut bulan itu (dengan berpuasa, peny.). (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ahmad, dan ad-Darimi).

Haruskah Shaum didahului niat ?.

Shaum Ramadhan, sebagaimana juga shaum-shaum lainnya, hanya dipandang absah jika didahului dengan niat. Dasarnya adalah sabda Nabi saw.:

«اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ»

Sesungguhnya amal ibadah itu bergantung pada niatnya. (HR Muslim).

Niat wajib dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan. Pasalnya, shaum pada masing-masing hari merupakan ibadah yang berdiri sendiri, yang waktunya dimulai dari terbit fajar dan diakhiri saat matahari terbenam. Shaum pada hari ini tidak bisa ikut-ikutan rusak oleh rusaknya puasa pada hari-hari sebelumnya maupun hari-hari sesudahnya. Karena itulah, tidak cukup satu niat untuk berpuasa sebulan penuh. Akan tetapi, niat harus dilakukan setiap hari.

Kapan Niat Dilakukan

Sahum Ramadhan ataupun shaum-shaum wajib lainnya tidak sah dilakukan jika niatnya baru dilakukan siang hari. Niat shaum wajib dilakukan pada malam hari. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Hafshah:

«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَبِيْتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ»

Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tidak ada puasa baginya.” (HR an-Nasa’i dan ad-Darimi).

Niat boleh dilakukan pada bagian malam manapun sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar karena seluruhnya termasuk bagian dari malam hari.

Bagaimana Dengan Niat Shaum Sunnah ?

Adapun niat shaum sunnah boleh dilakukan setelah terbit fajar sebelum matahari tergelincir. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:


«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَصْبَحَ اليَوْمُ، عِنْدَكُمْ شَيْءٌ تُطْعِمُوْنَ؟ فَقَالَتْ: لاَ. فَقَالَ: اِنِّي إِذًا صَائِمٌ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bertanya, “Apakah pagi ini ada sesuatu (makanan) untuk kalian makan?” Aisyah menjawab, “Tidak ada.” Nabi saw. kemudian berkata, “Kalau begitu, aku akan berpuasa saja.” (HR Ahmad).

Niat shaum Ramadhan juga harus ditentukan. Artinya, seseorang yang hendak berpuasa harus menyatakan diri bahwa ia memang berniat untuk shaum Ramadhan pada hari itu, karena ia merupakan bentuk taqarrub kepada Allah yang terkait dengan waktu pelaksanaannya. Hanya saja, niat tidak mesti dinyatakan secara verbal, tetapi cukup dengan adanya maksud di dalam kalbu. Niat juga hanya dianggap sah jika secara pasti dimaksudkan untuk melaksanakan shaum Ramadhan pada hari tertentu karena menentukan niat pada masing-masing hari adalah wajib.

Kapan Waktu pelaksanaan shaum?.

Waktu pelaksanaan shaum dimulai sejak terbit fajar, yakni fajar shâdiq (waktu subuh) dan diakhiri dengan terbenamnya matahari (saat magrib). Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Umar ra:

«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذاَ أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَاَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Jika malam telah datang dari sini, siang telah berakhir dari sini, dan matahari pun sudah tenggelam, maka orang-orang yang berpuasa berbuka saat itu. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Allah SWT juga berfirman:

(وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian putih-hitamnya sang fajar, lalu sempurnakanlah shaum hingga tiba waktu malam. (QS al-Baqarah [2]: 187).

Jika seseorang yang sedang berpuasa makan dan minum, sementara dia ingat bahwa dia sedang berpuasa, dan dia pun tahu bahwa makan-minum itu haram saat puasa, maka batallah puasanya, karena ia melakukan perkara yang dilarang dalam puasa tanpa ada uzur.

Bagaimana Meneteskan Obat Ke Dalam Hidung ?

Jika orang yang sedang berpuasa meneteskan obat ke dalam hidung atau memasukkan air ke lubang telinganya hingga sampai ke otaknya, batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Luqaith bin Shabrah ra. yang menyatakan:

«قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِي عَنِ الْوُضُوْءِ. قَالَ: اَسْبِغِ الْوُضُوْءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلاَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشاَقِ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا»

Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., beritahulah aku tentang cara berwudhu.” Beliau bersabda, “Sempurnakanlah wudhu, renggangkalah jari-jemari, optimalkanlah menghirup air lewat hidung (ber-istinsyâq), kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Berkaitan dengan hadis di atas, pemahaman kebalikan (mafhûm mukhâlafah)-nya adalah larangan untuk tidak secara optimal (banyak-banyak) ber-istinsyâq saat berpuasa hingga tidak ada sedikit pun air yang sampai ke otak. Ini berarti, adanya air yang sampai ke otak adalah haram bagi orang yang berpuasa dan membatalkan puasanya. Makan, minum, menghirup sesuatu melalui hidung, dan meneteskan air ke dalam lubang telinga pengertiannya meliputi memasukkan apa saja; baik yang biasa dimakan dan diminum seperti nasi, air, tembakau, dan sejenisnya; ataupun yang biasa diteteskan melalui hidung, telinga, dan sejenisnya. Semua ini membatalkan puasa.

Bagaimana Hubungan Suami Istri Saat Shaum ?

Orang yang sedang berpuasa juga dilarang melakukan hubungan suami-istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ

Sekarang, campurilah mereka. (QS al-Baqarah [2]: 187).

Ayat ini menunjukkan, bahwa mencampuri istri tidak dibolehkan sebelum sekarang ini, yakni pada siang hari bulan Ramadhan. Apabila yang dicampuri itu kemaluan maka batallah puasa. Jika yang dicampurinya selain kemaluan, atau sekadar mencium tetapi sampai membuat keluar air mani (sperma), maka batal pula puasa seseorang; tetapi jika tidak sampai membuat keluar sperma maka puasanya tidak batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:

«قَبَلْتُ وَاَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: قَبَلْتُ، وَاَنَا صَائِمٌ. فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ وَاَنْتَ صَائِمٌ»

Aku pernah mencium (istriku) saat sedang berpuasa. Aku lalu menjumpai Nabi saw., kemudian bertanya, “Aku telah mencium (istriku), sementara aku sedang berpuasa.” Rasul saw. lalu bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur pada waktu engkau berpuasa?” (HR Ahmad).

Dalam hadis ini. Nabi saw. telah menyerupakan aktivitas mencium dengan berkumur; jika air sampai tertelan, batallah puasa seseorang; sedangkan jika tidak maka puasanya tidak menjadi batal. Demikian pula halnya dengan mencampuri istri pada selain kemaluan atau sekadar menciumnya.

Batalkah Orang Yang Sengaja Muntah ?

Jika seorang yang sedang berpuasa dengan sengaja membuat dirinya muntah maka batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:

«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang telah memancing dirinya agar muntah dengan sengaja, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Siapa saja yang muntah (tanpa disengaja), ia tidak wajib mengqadha’ puasanya.’” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Kalau Lupa ?

Semua hal di atas jika dilakukan/terjadi dengan catatan, yakni jika orang yang berpuasa melakukannya dengan sengaja. Adapun jika ia melakukakannya karena lupa maka puasanya tidak menjadi batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«مَنْ اَفْطَرَ فِي شَّهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضاَءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفاَرَةَ»

Siapa saja yang berbuka pada bulan Ramadhan karena lupa, ia tidak wajib meng-qadha’ dan tidak wajib pula membayar kafarah. (HR at-Tirmidzi).

Ketentuan di atas juga dirdasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari dari Nabi saw. yang pernah bersabda:

«اِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ اَوْشَرَبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ»

Jika seseorang yang sedang berpuasa lupa sehingga dia makan atau minum maka sempurnakanlah (lanjutkanlah) puasanya. Sebab, itu hanyalah kehendak Allah yang (dengan sengaja) telah memberinya makan dan minum. (HR al-Bukhari Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Melakukan Hubungan Suami Istri Padahal Sudah Terbit Fajar ?

Jika seseorang makan atau melakukan hubungan suami-istri dengan alasan karena dia menduga bahwa fajar belum terbit, padahal ternyata fajar telah terbit, atau ia mengira bahwa matahari telah terbenam, padahal matahari belum terbenam, maka batallah puasanya dan ia wajib meng-qadha’-nya. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Hanzhalah ra. yang mengatakan:

«كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَفِي السَّمَاءِ شَيْءٌ مِنَ السَّحَابِ. فَظَنَّناَ أَنَّ الشَّمْسَ قَدْ غَابَتْ فَاَفْطَرَ بَعْضُ النَّاسِ فَاَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ كَانَ قَدْ اَفْطَرَ اَنْ يَصُوْمَ يَوْمًا مَكَانَهُ»

Saat kami berada di Madinah pada bulan Ramadhan, ketika langit dalam keadaan berawan, kami mengira matahari telah terbenam. Lalu sebagian orang berbuka. Karena itu, Umar ra. menyuruh agar orang yang terlanjur berbuka untuk berpuasa pada hari lain sebagai penggantinya. (HR al-Baihaqi dan al-Haitsami).

Ketetapan ini juga didasarkan pada hadis penuturan Hisyam bin Urwah dari Fathimah, istrinya, dari Asma’ yang mengatakan:

«اَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ. قِيْلَ لِهِشاَمِ: اُمِرُوْا بِالْقَضَاءِ. قَالَ: لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ»

Pada masa Rasulullah saw. kami pernah berbuka saat langit dalam keadaan mendung, kemudian matahari masih tampakt. Kepada Hisyam dikatakan, “Mereka disuruh meng-qadha’ puasa.” Dia lalu berkata, “Tentu saja harus meng-qadha’ puasa.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Orang yang Berbuka Tanpa Uzur ?

Siapa saja yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan tanpa uzur, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:

«مَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ»

Siapa saja yang memancing dirinya agar muntah, ia wajib meng-qadha’-nya. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Nabi saw. juga pernah bersabda:

«فَدَيْنُ اللهِ اَحَقُّ بِالْقَضَاءِ»

Utang kepada Allah lebih layak untuk dibayar. (HR Muslim).

Bagaimana yang melakukan hubungan suami istri tanpa uzur ?

Adapun orang yang berbuka karena melakukan hubungan suami-istri tanpa uzur, maka di samping wajib meng-qadha’ puasanya, ia juga wajib membayar kafarah. Pasalnya, Nabi saw. sendiri telah menyuruh orang yang menyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadhan agar meng-qadha’ puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:

«جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: وَمَا اَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ. فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ اَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ،.قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ ماَ تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ. ثُمَّ جَلَسَ فَاَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقِ فِيْهِ تَمَرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. فَقَالَ: أَعَلَى اَفْقَرِ مِنَّا فَمَا بَيْنَ ِلاِبْتِيْهَا اَهْلَ بَيْتِ اَحْوَجَ اِلَيْهِ مِنَّا؟ فَضَحَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ, ثُمَّ قَالَ: اِذْهَبْ فَاَطْعِمْهُ اَهْلَكَ»

Seorang laki-laki pernah menjumpai Nabi saw. Ia lalu berkata, “Celakalah aku, wahai Rasulullah!” Rasul kemudian bertanya, “Apa yang telah mencelakaknmu?” Dia menjawab, “Aku telah bersetubuh dengan istriku saat siang hari pada bulan Ramadhan.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki harta yang dapat memerdekakan hamba sahaya?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki harta yang bisa memberi makan kepada enam puluh orang miskin?” Dia menjawab, “Tidak juga.” Kemudian dia duduk, sementara Nabi saw. datang dengan membawa bakul besar yang penuh dengan kurma. Setelah itu, Nabi saw. bersabda, “Bersedekalah engkau dengan kurma ini!” Namun, orang itu berkata, “Apakah kepada orang yang paling fakir di antara kami? Sungguh, tidak ada di daerah kami penduduk yang lebih membutuhkan kurma ini daripada kami sekeluarga.” Mendengar itu, Nabi saw. tertawa hingga gigi taringnya tampak. Beliau kemudian bersabda, “Kalau begitu, pulanglah. Lalu beri makanlah keluargamu dengan kurma ini!” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Inilah kafarah wajib yang harus ditunaikan oleh orang yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan dengan menggauli istrinya secara sengaja.

Bagaimana Hukum Makan Sahur ?

Orang yang berpuasa disunnahkan untuk makan sahur. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Anas ra.:

«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَسَحَّرُوْا فَإِنًّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur itu terkandung berkah.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).

Apa Sunnah Berbuka ?

Orang yang berpuasa juga disunnahkan berbuka dengan makan kurma. Jika kurma tidak ada, ia disunnahkan berbuka dengan minum air. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Salman bin Amir yang mengatakan:

«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا اَفْطَرَ اَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمَرٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَاِنَّهُ طَهُوْرٌ»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika seseorang di antara kalian berbuka, berbukalah dengan kurma; jika ia tidak mendapatkannya, berbukalah dengan air karena air itu suci.” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).

Bagaimana Sunnah Doa Berbuka ?

Selanjutnya, saat berbuka puasa seseorang disunnahkan untuk membaca doa berikut:

«اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ»

Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan berkat rezeki-Mu aku berbuka.

Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang mengatakan:

«كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَذَا صَامَ ثُمَّ اَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ»

Rasulullah saw. itu, jika berpuasa, lalu berbuka, Beliau biasa mengucapkan, “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan berkat rezeki-Mu aku berbuka.” (HR Abu Dawud).

Orang yang berpuasa Ramadhan juga disunnahkan untuk menyambung puasanya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Ayyub ra. berikut:

«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَالٍ كَانَ كَصِياَمِ الدَّهْرِ»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian menyambungnya dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti telah berpuasa sepanjang tahun. (HR Muslim).

Pada hari Arafah, selain jamaah haji disunnahkan berpuasa. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Qatadah ra.:

«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَوْمُ عَاشُوْرَاءَ كَفاَرَةُ سَنَةٍ وَصَوْمُ يَوْمَ عَرَفَةٍ كَفَارَةُ سَنَتَيْنِ سَنَةٌ قَبْلَهَا مَاضِيَةً وَسَنَةٌ بَعْدَهَا مُسْتَقْبَلَةً»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Puasa Asyura adalah kafarah (dari dosa) satu tahun. Puasa Arafah adalah kafarah (dari dosa) dua tahun; satu tahun sebelumnya dan satu tahun berikutnya.” (HR Ahmad).

Puasa Asyura disunnahkan berdasarkan hadis Abu Qatadah di atas. Disunnahkan pula puasa pada hari sebelum Asyura, yakni tanggal sembilan Muharram. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Ibnu Abbas ra.:

«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَئِنْ بَقَيْتُ اِلَى قَابِلٍ َلأَصُوْمَنَّ الْيَوْمَ التَّاسِعَ»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Andai aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (bulan Muharram). (HR Ibn Majah dan Ahmad).

Dalam hadis riwayat Muslim, hadis di atas ditambah dengan kalimat berikut:

«فَلَمْ يَأْتِ الْعَامَ الْمُقْبِلَ حَتَّى تُوُفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

Tahun depan belum juga tiba, Rasulullah saw. telah terlebih dulu wafat. (HR Muslim).

Hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram dan hari Tasu’a’ adalah hari kesembilan dari bulan tersebut.

Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari-hari putih (al-baydh), yakni puasa tiga hari pada tiap-tiap bulan. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. sebagai berikut:

«اَوْصَانِي خَلِيْلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ كُلَّ شَهْرٍ»

Kekasihku (Rasulullah) saw. pernah berwasiat kepadaku agar berpuasa tiga hari pada setiap bulan. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad).

Puasa tiga hari ini boleh dilakukan pada hari apa saja tanpa harus ditentukan. Hanya saja, yang dianggap utama adalah pada tanggal 13, 14 dan 15. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Dzarr ra.:

«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثًا، فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشَرَةَ»

Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).

Ketetapan di atas juga didasarkan pada hadis penuturan Jarir bin Abdillah dari Nabi saw. yang pernah bersabda:

«صِيَامُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ مِِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ، اَيَّامُ البَيْضِ، ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ»

Puasa tiga hari pada setiap bulan adalah puasa sepanjang tahun, yakni puasa hari-hari putih, adalah: tanggal 13, 14, dan 15. (HR Muslim, an-Nasa’i, Ahmad dan ad-Darimi).

Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang mengatakan:

«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ اْلاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ»

Sesungguhnya Nabi saw. telah memilih waktu untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis. (HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).

Sumber : Ahkâm ash-Shalâh. Mesir: Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, Cet. 1, 1991, Karya al-Ustadz Ali Ragib, Guru Besar Universitas al-Azhar asy-Syaried Kairo, Mesir.

Selasa, Agustus 11, 2009

Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan


Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut?

Sabab Pelaksanaan Puasa: Ru’yah Hilal

Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).

Rasulullah saw bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).

Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.

Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).

لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ

Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)

إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).


Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.[1]

Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[2]

Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[3] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).

Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.

Dari Ibnu Abbas bahwa:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya

Tidak Terikat dengan Mathla’

Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.

Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).

Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:

Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.

Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.

Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?”

Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).

Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[4]

Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[5]

Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.

Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.

Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[6]

Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا

Dari Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)

Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.

Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [7] yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.

Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”

Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[8]

Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[9]

Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:

غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ

Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا

“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.

Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[10] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.

Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[11]

Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[12].

Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[13]

Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[14]

Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[15]

Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [16]

Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[17]

Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.

Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State

Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.

Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.

Kaum Muslim di Riau tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.

Khatimah

Perbedaan awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Karena itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua prob­lematika kaum muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mere­ka. Yaitu, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan mener­apkan syariْat Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslim­in hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).

WaLlâh a’lam bi al-shawâb (Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI).

Sabtu, Agustus 01, 2009

Introspeksi Ramadhan 1430 H


Jika kita renungkan, tampak bahwa Ramadhan, sebagai bulan suci, telah dianggap sebagai waktu yang khusus untuk urusan ritual, spiritual dan keakhiratan. Karenanya, semua kegiatan di bulan Ramadhan bernuansa spiritual, ritual dan religius. Pada bulan suci ini, aktivitas yang dianggap duniawi harus ditinggalkan atau minimal dikurangi. Agaknya latar belakang pemikiran inilah yang mendorong munculnya imbauan untuk menjauhkan aktivitas politik dari aktivitas Ramadhan. Tidak lain karena politik dinggap sebagai aktivitas duniawi dan cenderung kotor; kalau disatukan atau dimasukkan ke dalam aktivitas Ramadhan dianggap akan mengotori kesucian bulan Ramadhan. Kesucian Ramadhan juga tidak boleh dikotori oleh kemaksiatan. Karenanya, dikeluarkanlah imbauan bahkan perda agar tempat-tempat yang berbau maksiat seperti pub, diskotek, panti pijat dan sebagainya diminta tutup selama Ramadhan. Setelah Ramadhan, semua itu dipersilakan untuk buka kembali.

Cara pandang seperti itu merupakan cara pandang sekular. Sekularisme adalah paham yang memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Urusan dunia terserah manusia, sementara urusan akhirat diserahkan kepada agama. Agama tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan dunia. Sebaliknya, urusan dunia tidak boleh dikaitkan dengan urusan akhirat atau agama. Dalam konteks waktu, dengan cara pandang sekular, seakan-akan ada waktu-waktu yang khusus untuk akhirat; yang harian adalah waktu-waktu shalat lima waktu, yang mingguan adalah hari Jumat, dan yang tahunan adalah Ramadhan.

Disadari atau tidak, paham sekularisme atau cara pandang sekular ini sudah merasuk jauh ke dalam diri kaum Muslim. Saat melaksanakan shalat, seorang wanita Muslimah akan dengan ringan menutup auratnya. Namun, di luar shalat, ia merasa berat melakukannya. Ketika di masjid seseorang merasa begitu dekat dengan Allah dan merasa ada dalam pengawasan-Nya. Namun, di luar masjid—ketika menangani proyek, berjual beli, berbisnis, dan berpolitik, mengurus pemerintahan, dll—seakan Allah begitu jauh dan tidak mengawasinya. Ketika beribadah ritual (shalat, misalnya) seorang Muslim begitu memperhatikan hukum-hukum syariah tentangnya; memperhatikan syarat dan rukunnya, juga sah dan batalnya. Namun, di luar itu—ketika memerintah, berpolitik, berdagang, memutuskan perkara dan sebagainya—hukum-hukum syariah bukan saja diabaikan, bahkan dicampakkan.

Paham sekularisme semacam ini tentu bertentangan dengan akidah Islam. Islam tidak membedakan urusan dunia dengan urusan akhirat. Islam diturunkan oleh Allah bukan hanya untuk mengurus urusan ukhrawi saja, melainkan juga untuk urusan duniawi. Hal ini bisa dipahami dengan sangat mudah oleh siapapun. Siapapun bisa memahami itu dengan mudah ketika membaca ayat-ayat al-Quran tentang hukum potong tangan bagi pencuri, cambuk/rajam bagi orang yang berzina; hukum seputar jual-beli, riba, timbangan; hukum tentang pergaulan laki-laki dan perempuan; hukum seputar perang, perjanjian, damai dsb. Tentu saja semua petunjuk dan hukum-hukum itu diturunkan oleh Allah SWT bukan sekadar untuk dibaca dan dipelajari, tetapi untuk dilaksanakan dan diterapkan. Bahkan Allah mengancam siapa saja yang mengambil sebagian isi al-Quran seraya meninggalkan sebagiannya yang lain:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dilemparkan ke dalam azab yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat. (QS al-Baqarah [2]: 85).

Tentu kita semua tidak ingin Ramadhan ini meraih kegagalan, yaitu gagal meraih takwa sebagai hikmah atas diwajibkannya puasa. Takwa, seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi, adalah mematuhi perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Perintah dan larangan Allah itu terwujud dalam totalitas hukum syariah. Karena itu, takwa hakikatnya adalah menjalankan seluruh hukum syariah dalam segala bentuk dan aspeknya.

Puasa telah mengajari kita untuk menjadi manusia yang bertakwa. Jika pada bulan Ramadhan, ketika kita diperintahkan meninggalkan makanan dan minuman yang halal pada siang hari, ternyata kita bisa; tentu lebih mudah bagi kita untuk meninggalkan makanan dan minuman haram di luar Ramadhan. Ketika puasa di bulan Ramadhan kita ringan menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, tentu seharusnya di luar Ramadhan semua itu juga pasti bisa kita lakukan.

Namun, karena pemaknaan terhadap Ramadhan didasarkan pada cara pandang sekular, lahirlah anggapan bahwa semua bentuk ketaatan itu seolah hanya berlaku selama Ramadhan saja; menjadi insan bertakwa itu seakan hanya dianggap khusus pada bulan Ramadhan saja.

Karena itu, pada pertengahan Ramadhan ini, hendaknya kita instrospeksi diri. Apakah pemaknaan Ramadhan dan aktivitas di dalamnya masih menggunakan cara pandang sekular? Jika ya, artinya kita terancam gagal mewujudkan hikmah puasa, yaitu takwa. Oleh karena itu, cara pandang sekular harus segera kita buang.

Takwa jelas bukan hanya diperintahkan selama Ramadhan saja. Takwa diperintahkan sepanjang waktu, kapan saja, juga dimana saja dan dalam hal apa saja. Rasulullah saw. bersabda:


«اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ»

Bertakwalah kamu kepada Allah kapan saja dan dimana saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik (HR Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan al-Baihaqi).

Karena itulah, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, sepanjang hidup kita, juga di manapun kita berada, takwa harus senantiasa terwujud dalam diri kita.

Seiring waktu, mungkin aktivitas keseharian dan kesibukan duniawi telah menjadikan energi untuk bertakwa itu melemah. Supaya penurunan itu tidak sampai kebablasan, energi takwa itu perlu selalu di-charge. Ramadhan bisa dijadikan sebagai salah satu momentum untuk men-charge kembali energi itu. Dengan itu, selepas Ramadhan kita tetap bisa mewujudkan ketakwaan sepenuhnya, bukan malah sebaliknya; ketakwaan kita makin melemah, bahkan nyaris hilang selepas Ramadhan. Na’ûdzu billâh min dzâlik.

Untuk itu wahai kaum muslimin, hendaknya Ramadhan sekarang kita jadikan sebagai momentum perubahan. Marilah kita tinggalkan paham sekularisme dan cara pandang sekular, khususnya dalam memaknai Ramadhan ini, dan umumnya di dalam segala aspek kehidupan kita. Marilah kita wujudkan ketakwaan dalam diri kita bukan hanya pada bulan Ramadhan ini saja, tetapi pada sebelas bulan berikutnya selepas Ramadhan.

Untuk memantapkan semua itu tidak ada lain adalah dengan kembali menerapkan Islam dan syariahnya secara kaffah. Puasa Ramadhan sungguh telah mengajari kita bahwa semua itu adalah mudah dan bisa kita terapkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Selasa, Juli 28, 2009

Doa Untuk Kekasih


Allah yang Maha Pemurah...
Terima kasih Engkau telah menciptakan dia
dan memperkenalkan saya dengannya.
Terima kasih untuk saat-saat indah
yang dapat kami nikmati bersama.
Saya datang bersujud dihadapanMU...
Sucikan hati saya ya Allah, sehingga dapat melaksanakan kehendak dan rencanaMU dalam hidup saya.

Ya Allah, jika saya bukan pemilik tulang rusuknya, janganlah biarkan saya merindukan kehadirannya...
janganlah biarkan saya, melabuhkan hati saya dihatinya.. kikislah pesonanya dari pelupuk mata saya dan jauhkan dia dari relung hati saya...
Gantilah damba kerinduan dan cinta yang bersemayam didada ini dengan kasih dari dan padaMU yang tulus, murni... dan tolonglah saya agar dapat mengasihinya sebagai sahabat.
Tetapi jika Engkau ciptakan dia untuk saya... ya Allah tolong satukan hati kami... bantulah saya untuk mencintai, mengerti dan menerima dia seutuhnya...
berikan saya kesabaran, ketekunan dan kesungguhan untuk memenangkan hatinya... Ridhoi dia, agar dia juga mencintai, mengerti dan mau menerima saya dengan segala kelebihan dan kekurangan saya sebagaimana telah Engkau ciptakan...
Yakinkanlah dia bahwa saya sungguh-sungguh mencintai dan rela membagi suka dan duka saya dengan dia...

Ya Allah Maha Pengasih, dengarkanlah doa saya ini...
lepaskanlah saya dari keraguan ini menurut kasih dan kehendakMU...
Allah yang Maha kekal, saya mengerti bahwa Engkau senantiasa memberikan yang terbaik untuk saya... luka dan keraguan yang saya alami, pasti ada hikmahnya.
Pergumulan ini mengajarkan saya untuk hidup makin dekat kepadaMU untuk lebih peka terhadap suaraMU yang membimbing saya menuju terangMU...
Ajarkan saya untuk tetap setia dan sabar menanti tibanya waktu yang telah Engkau tentukan....
Jadikanlah kehendakMU dan bukan kehendak saya yang menjadi dalam setiap bagian hidup saya...
Ya Allah, semoga Engkau mendengarkan dan mengabulkan permohonanku.
Amien.


A Prayer

Tuhanku...
Aku berdo'a untuk seorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu

Wajah tampan dan daya tarik fisik tidaklah penting
Yang penting adalah sebuah hati yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau
dan berusaha menjadikan sifat-sifatMu ada pada dirinya
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup sehingga hidupnya tidaklah sia-sia

Seseorang yang memiliki hati yang bijak tidak hanya otak yang cerdas
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tapi juga menghormatiku
Seorang pria yang tidak hanya memujaku tetapi juga dapat menasihatiku ketika aku berbuat salah

Seseorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tapi karena hatiku
Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap waktu dan situasi
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika aku di sisinya

Tuhanku...
Aku tidak meminta seseorang yang sempurna namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna,
sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna

Tuhanku...
Aku juga meminta,
Buatlah aku menjadi wanita yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sekedar cintaku

Berikanlah sifat yang lembut sehingga kecantikanku datang dariMu
Berikanlah aku tangan sehingga aku selalu mampu berdoa untuknya
Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dan bukan hal buruk dalam dirinya
Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata bijaksana, mampu memberikan semangat serta mendukungnya setiap saat dan tersenyum untuk dirinya setiap pagi

Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan:
"Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna."

Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat
Dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang telah Engkau tentukan

Amin....

Sebuah renungan untuk kita berdua

Pria yang ingin menikahi ukhti…………………………………………
Bukanlah semulia Muhammad
Bukan pula segagah Musa
Bukan juga sekaya Sulaiman
Apalagi setampan Yusuf
Bukan ya ukhti…

Istri yang akan aku nikahi…………………………………………………
Tidaklah semulia Khodizah
Tidak pula setaqwa Aisyah
Tidak juga setabah Fatimah

Aku dan ukhti hanyalah manusia akhir zaman
Manusia yang punya cita-cita, harapan dan keinginan
Menjadi sholih untuk membangun generasi sholih

Pernikahan akan mengajarkan kita iman dan taqwa
Untuk belajar menjadi sabar dan ridho
Pernikahan akan mengajarkan kita kewajiban bersama
Untuk belajar menjadi lebih baik

Ketika istri menjadi semanis madu
Maka suamilah yang menikmati sepuasnya
Ketika istri menjadi sepahit racun
Maka suamilah yang menjadi penawarnya

Ketika suami menjadi raja
Maka sang istrilah yang menjadi singgasananya
Ketika suami menjadi bisa
Maka sang istrilah yang menjadi penawar obatnya

Aku bukanlah Rosulullah..............
Cuma calon suami akhir zaman
Ukhti juga bukanlah khodizah........
Cuma calon istri akhir zaman
Kita berdua hanya berharap Ridho Illahi,
Aamin...!!!
Malang....2007
Untuk sesorang yg mengharap cinta dan kasih sayangnya Allah

Senin, Juli 27, 2009

Iklan Bisnis


Terobosan baru bisnis pulsa, Free pendaftaran, Tidak ada targetan penjualan dan perekrutan alias free, tidak ada biaya lain-lain, tapi kaya akan bonus sampai milyaran rupiah. Segera bergabung dan daftarkan diri anda di sini atau klik gambar sebelah, bergabung atau tidak anda akan tetap mengeluarkan uang untuk kebutuhan pulsa anda, karena pulsa sudah menjadi kebutuhan pokok anda.

Selain pulsa anda butuh media iklan untuk promosi bisnis anda? Gratis pasang iklan semaunya. Pendaftaran klik aja dibawah ini

Gratis viral iklan 10 level


Minggu, Juli 26, 2009

Syariah, Masa Depan Politik Indonesia?


Membaca Trend Survei Syariah di Indonesia saat ini cukup menggembirakan, tiap lembaga survey berbeda-beda hasilnya, namun hasil rata-rata lebih dari 60-80% penduduk Indonesia menginginkan penerapan syariat islam di Indonesia dalam sebuah negara, sedanglan sisanya 20-40% menolak. Alhamdulillah.....!!!!

Komen saya:
Sederhana aja, klo emang Indonesia dan bahkan AS menganggap Indonesia negara paling demokratis dengan selogan suara rakyat adalah suara tuhan (dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat) seharusnya penguasa saat ini malu pada rakyat karena tidak menjalankan amanah rakyat yang menginginkan penerapan syariat islam dengan suara terbanyak.
Klo gitu dimana letak demikrasi kawan?????

Hanya Sistem Khilafah, Wahai Kaum Muslim, yang Bisa Menyelesaikan Penodaan terhadap Keyakinan Anda!

Ketika kaum Muslim tengah mempersiapkan diri untuk memasuki bulan suci Ramadhan 1429 H, tiba-tiba ketenangan mereka harus terusik kembali dengan pernyataan Menteri Agama, Maftuh Basyuni (24/08/2008) tentang kelanjutan penyelesaian kasus Ahmadiyah. Dengan tegas, Menag menyatakan, bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk membubarkan Ahmadiyah. Tentu pernyataan ini sangat mengejutkan, apalagi disampaikan di depan para ulama’ dan tokoh Islam, yang disaksikan oleh ribuan kaum Muslim pada acara Tasyakuran Pesantren al-Quran dan Haul KH Abdullah Syafiie ke-13 di Sukabumi, Minggu (24/08/2008).

Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah logika yang digunakan oleh Menag. Pertama, pasca keluarnya SKB (09/06/2008), muncul dua kubu di tengah masyarakat yang saling berlawanan. Di satu pihak, ada kubu yang menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan, namun di pihak lain, ada kubu yang menuntut kebebasan, dan membiarkan paham Ahmadiyah ini dibiarkan. Menurut Menag, kubu pertama tidak memiliki kekuatan hukum di bumi Indonesia. Dari sisi perundang-undangan, tidak ada satu pasal pun yang bisa digunakan untuk membubarkan Ahmadiyah. Bahkan, dia tambahkan, di dalam al-Quran dan Hadits sendiri tidak ada ajaran yang memaksa orang lain untuk ikut dan menjadi Muslim. Sementara terhadap kubu kedua harus diluruskan, sebab jelas-jelas Ahmadiyah tidak bisa diterima oleh umat Islam di Indonesia, karena Islam meyakini Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw. bukan Mirza Ghulam Ahmad yang selama ini diyakini sebagai Nabi oleh warga Ahmadiyah.

Kedua, Menag membuat analogi tentang tidak perlunya Keppres. Ibarat orang Muslim yang hendak shalat yang harus mengambil wudhu’, ternyata wudhunya belum sempurna. Membasuh muka muka, tangan, kepala namun kakinya tak dibasuh, maka harus disempurnakan.

Ketiga, Sebagai intropeksi, ternyata ada beberapa poin pada diktum keenam SKB tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Islam, yang berkaitan dengan pembinaan terhadap warga Ahmadiyah.

Maka, dengan logika di atas, menurutnya, sangat berlebihan jika karena tekanan ormas-ormas Islam, pemerintah melanjutkan SKB tersebut dengan Keppres. Karena itu, pemerintah bersikeras Keppres tentang pelarangan Ahmadiyah tidak perlu dikeluarkan. Bahkan, dia menegasikan kemungkinan pemerintah menerbitkan Keppres.

Pertanyaannya, apakah Menag tidak mengerti perbedaan orang murtad dan bukan? Apakah dia juga tidak tahu perbedaan tidak ada paksaan dalam Islam terhadap orang non-Muslim untuk memeluk Islam, sementara terhadap orang murtad, justru sebaliknya? Terlebih menganalogkan orang murtad dengan orang yang tidak memenuhi salah satu rukun ibadah, padahal yang satu batal dari segi akidahnya, sementara yang satu lagi tidak, atau hanya kurang salah satu rukunnya? Yang lebih mengejutkan lagi, dia berani menyatakan pernyataan seperti itu di depan para kiyai, ulama’, tokoh Islam dan santri pesantren, apakah dia mengira bahwa para kiyai, ulama’, tokoh Islam dan para santri itu tidak paham tentang perkara-perkara ini? Ataukah dia sengaja ingin menyesatkan pemahaman para para kiyai, ulama’ dan tokoh Islam tersebut agar mendukung logika pemerintah?


Wahai kaum Muslim:

Sesungguhnya upaya penyelesaian masalah Ahmadiyah yang sebenarnya sederhana ini, telah begitu berlarut-larut dan tidak berkesudahan. Karena tidak ada ketegasan, kemauan, dan keberanian politik dari pemerintah. Bagaimana tidak, sejak tahun 1980, MUI telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah. Pada tahun 1985, OKI dalam Majma’ al-fiqh al-Islami di Jeddah juga telah mengeluarkan keputusan yang sama. Tidak hanya itu, pada tahun 2005, MUI pun mengeluarkan kembali fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah, termasuk Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme. Ditindaklanjuti dengan rekomendasi Bakorpakem tahun 2005, agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Pada tanggal 16 April 2008, setelah melalui pemantauan selama 3 bulan terhadap Ahmadiyah, khususnya berkenaan dengan 12 poin yang dikeluarkan oleh PB JAI, maka Bakorpakem pun menyatakan, bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran Islam, dan karenanya harus dibubarkan. Dasar hukumnya jelas yaitu UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, yang memberikan hak kepada pemerintah untuk melarang ajarannya dan membubarkan organisasinya.

Namun, sayangnya sikap pemerintah tetap bergeming. Umat pun bereaksi, sehingga terjadilah aksi di mana-mana. Mulai dari aksi damai hingga aksi-aksi fisik. Semuanya ini sebenarnya dipicu oleh sikap pemerintah sendiri yang tidak segera mengambil tindakan hukum yang tegas dan jelas. Puncaknya adalah aksi tanggal 9/06/2008, yang diikuti oleh hampir seluruh elemen umat Islam, sehingga pemerintah terpaksa mengeluarkan SKB. Setelah keluarnya SKB, masalah Ahmadiyah memang belum selesai, dan umat pun masih menuntut penyelesaian final dari pemerintah, dengan dikeluarkannya Keppres tentang Pembubaran Ahmadiyah. Namun itulah sikap pemerintah dan negara yang memang tidak melaksanakan syariah.


Wahai kaum Muslim:

Apa yang telah kita lakukan selama ini tentu tidak sia-sia, namun kami ingin menyampaikan bukti, bahwa inilah sesungguhnya fakta pemerintahan dan negara yang tidak diatur dengan syariah. Untuk menjaga akidah Islam yang sudah jelas-jelas dinodai dan dinistakan sedemikian rupa, yang tidak bisa lagi dibantah oleh siapapun, itupun tidak bisa. Sudah terbukti, bahwa Ahmadiyah sesat dan keluar dari Islam, karena jelas mengimani bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, setelah Nabi Muhammad. Sudah terbukti mereka mengimani, bahwa Tadzkirah adalah wahyyu muqaddas (wahyu suci), yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam. Mau bukti apa lagi?

Namun sayang, karena umat Islam ini tidak mempunyai pemerintahan dan negara yang menerapkan syariah Islam, maka beginilah kenyataannya. Setelah kasus Lia Eden yang mengaku sebagai Jibril hanya dihukum beberapa tahun, muncul kasus al-Qiyadah al-Islamiyyah, dengan Mushaddeq-nya yang menyatakan diri sebagai Nabi, kemudian muncul nabi-nabi palsu yang lainnya. Padahal, seandainya mereka hidup dalam pemerintahan dan negara yang menerapkan syariah, maka penyimpangan-penyimpangan seperti ini tidak akan terjadi dan terus-menerus terjadi tanpa penyelesaian. Karena tidak ada hukuman bagi mereka kecuali hukuman mati atau diperangi oleh negara.

Karena itu, wahai kaum Muslim, bukti apa lagi yang meyakinkan saudara, bahwa kita memang membutuhkan pemerintah dan negara yang menerapkan syariah. Negara yang bukan hanya untuk orang Islam, tetapi juga seluruh umat manusia. Negara yang bukan hanya akan melindungi akidah dan ajaran Islam dari penistaan, tetapi juga melindungi akidah dan ajaran non-Islam untuk bebas dilaksanakan oleh para pemeluknya. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Karena Khilafah akan menjadi perisai, yang akan membentengi dan melindungi seluruh rakyat yang hidup di dalamnya dengan keadilannya, sebagaimana sabda Nabi:


«إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»


“Imam (khalifah) tak lain adalah perisai, dimana dia akan melindungi orang-orang yang berperang di belakangnya, dan menjadi benteng bagi mereka.” (HR Muslim)


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ


Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya, jika keduanya menyerukan kepada kalian kepada apa yang akan bisa menghidupkan kalian. (Q.s. al-Anfal [08]: 24)

Menjawab Opini Negatif Terhadap Syariat Islam


HTI-Press. Berkenaan dengan gagasan penerapan syariat Islam, ada sejumlah tuduhan miring yang dilontarkan, yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat. Tuduhan miring ini lebih merupakan upaya penciptaan opini negatif terhadap citra syariat Islam. Disebut opini negatif karena opini tersebut memang tidak sesuai dengan realitas syariat Islam itu sendiri. Opini negatif terhadap syariat Islam ini bila dicermati pada dasarnya disandarkan pada dua hal (i) konsepsi tentang Islam, dan (ii) kondisi faktual di masyarakat. Beberapa opini negatif yang saat ini mulai disuarakan dengan lantang di berbagai media massa sesuai dengan dua hal di atas adalah sebagai berikut.

I. Konsepsi tentang Islam

a. Islam tidak mengatur tentang negara, atau dengan kata lain tidak ada sistem negara dalam Islam. Islam cukup diamalkan secara pribadi tidak perlu diundangkan. Pendapat seperti ini akan jelas kekeliruannya bila dikonfirmasikan kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Negara, yang dalam bahasa Arabnya daulah, memang kata baru yang mengandung makna istilah. Kata dûlah dalam al-Quran bahkan tidak terkait dengan makna daulah (negara). Sekalipun demikian, makna negara dalam konteks modern dilaksanakan oleh Nabi saw.

Secara umum, negara dalam istilah sekarang dimaknai sebagai suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistik dari kekuasaan yang sah[1]. Tampak, ada 4 unsur hingga terbentuknya negara, yaitu daerah/teritorial, pemimpin/pejabat, rakyat, dan hukum. Keempat unsur ini ternyata dibuat oleh Rasulullah saw. sejak mendirikan negara di Madinah. Daerah/teritorialnya adalah Madinah, kemudian meluas ke Makkah, Yaman, dan Jazirah Arab lainnya. Pada masa awal di Madinah beliau meminta 7 orang kalangan Anshar dan 7 orang kalangan Muhajirin sebagai tempat bermusyawarah[2]. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hamzah, Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, Bilal, Sa’ad bin Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Ubay bin Khalaf, dan Zaid bin Tsabit. Nabi saw. bertindak sebagai kepala negara. Beliau mengirim utusan kepada para kepala negara saat itu (termasuk Heraklius) untuk menyebarkan Islam dan utusan tersebut disambut dengan upacara kenegaraan. Juga, beliau menunjuk para pejabat. Sa’ad bin Ubadah pernah diangkat mewakili Rasulullah saw. mengurusi pemerintahan saat beliau memimpin perang al-Abwa` pada tahun pertama Hijriah, dan mengangkat Muhammad bin Maslamah untuk peranan yang sama saat beliau memimpin Perang Tabuk[3]. Pada masa pemerintahannya, beliau memiliki 2 pembantu umum, yaitu Abu Bakar dan Umar. “Pembantuku dari penduduk bumi (Madinah) adalah Abu Bakar dan Umar,” sabda Nabi (HR at-Turmudzi dari Abi Sa’id al-Khudri). Beliau pun mengangkat Hudzaifah bin Yaman sebagai Amir Sirr (semacam Sekretaris Negara) yang memegang hampir semua rahasia dan kebijakan negara[4]. Nabi membagi pemerintahannya menjadi 12 wilayah. Di antara pemimpin wilayah yang dipilihnya adalah at-Taab bin Usaid sebagai wali Makkah setelah futuh Makkah, mantan wakil raja Kisra, Bâdan bin Sassan, setelah masuk Islam diangkat sebagai wali daerah Yaman, Qada’ah ad-Dausi sebagai amil (pemimpin daerah dibawah Wilayah) di Yaman[5]. Ali bin Abi Thalib pernah ditugasi sebagai juru tulis perjanjian antarnegara, Zubair bin Awwam sebagai juru tulis keuangan bidang zakat, dan al-Mughirah bin Shuba’ untuk bidang simpan-pinjam[6]. Selain itu, Rasulullah membagi angkatan bersenjata menjadi beberapa pasukan (sarriyah) yang masing-masing dipimpin seorang komandan. Ketika Nabi wafat terdapat 30.000 personel angkatan darat dan 6.000 pasukan berkuda[7]. Untuk menjaga keamanan masyarakat, beliau membentuk semacam polisi kota. Di antaranya beliau pernah mengangkat Qaisy bin sa’ad menjabat kepala polisi kota (shâhib asy-syurthah)[8]. Realitas demikian menunjukkan bahwa Rasulullah saw. saat itu telah memiliki pejabat-pejabat untuk menjalankan roda pemerintahan. Dilihat dari rakyatnya, jelas, kaum muhajirin dan anshar. Adapun aturan yang diterapkannya adalah al-Quran yang terus turun dan hadits, yang salah satunya terwujud dalam Piagam Madinah (watsîqah Madînah).

Tampaklah, Rasulullah saw. menjalankan sebuah negara menurut definisi modern. Sekalipun dilihat dari istilah negara termasuk baru, tapi makna, kandungan, dan fungsinya dijalankan oleh Rasul. Pihak yang fobia atau anti-Islam menyatakan dalam Islam tidak dibahas persoalan negara, padahal justru Rasulullah saw. melakukannya. Ini adalah realitas. Manakah yang layak dipercaya, tudingan sekelompok orang itu, ataukah realitas yang dilakukan oleh Nabi saw? Bagi orang yang beriman tentu saja akan mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai utusan-Nya. Karena itu, pernyataan bahwa Islam tidak mengenal negara, dan negara tidak boleh digabung dengan agama (Islam) bertentangan dengan realitas yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.

Juga, para ulama salaf sepakat mengenai wajibnya mengangkat dan mewujudkan pemerintahan dalam bentuk Khilafah Islam. Baik kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah maupun Syi’ah, Khawarij, bahkan Mu’tazilah. Semuanya berpendapat bahwa umat ini harus mempunyai seorang imam yang menerapkan syariat Islam. Sementara itu, hukum mengangkatnya adalah wajib[9].

Kenyataan dari sirah Rasulullah saw. telah menunjukkan bahwa ajaran Islam sama sekali tidak dibatasi pada pribadi-pribadi pemeluknya. Bahkan, beliau menjadikannya sebagai asas Negara. Hal ini tercantum dalam Piagam Madinah (watsiqah Madinah) yang dijadikan peraturan umum antara kaum muslim dan nonmuslim di kota Madinah:

“Bahwasanya apabila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah saw. dan bahwasanya Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini.”

Bila demikian, siapakah yang layak dipercaya, manusia yang menyatakan bahwa cukup Islam itu diterapkan secara individual saja tidak perlu dalam masalah kemasyarakatan dan negara, ataukah Allah Swt. yang justru mewajibkan kepada manusia untuk menjalankan Islam secara kaffah (Lihat QS al-Baqârah [2]:208)?

b. Adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem mana yang akan diterapkan? Alasan ini pun terlihat sangat dipaksakan. Sebab, dalam sistem mana pun, sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya, banyak beragam pendapat tentang sistem republik, presidensial, atau parlementer. Bentuknya pun pro-kontra; apakah kesatuan, federalisme, ataukah kesatuan dengan otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihan pun berbeda-beda, apakah harus pemilihan langsung (seperti keyakinan J.J. Rousseau), perwakilan, distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang, termasuk politik. Lalu, mengapa adanya perbedaan pandangan tentang beberapa hal dalam masalah politik dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak ditegakkannya syariat Islam? Sebaliknya, mengapa untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan serupa?

c. Islam itu yang penting substansinya, bukan formalitasnya. Pendapat seperti ini tidak hanya berbahaya, tetapi juga bertentangan dengan realitas. Pertama, tidak ada aturan yang diterapkan sekadar substansinya saja. Mengapa mereka begitu getol memperjuangkan sekularisme, demokrasi, dan berupaya mempertahankan formalitas sistem tersebut yang notabene warisan kolonial? Padahal, jika mereka konsisten dengan pendapatnya, semestinya cukup hanya substansi demokrasi saja yang dituntutnya, dan substansi sekularisme saja yang diinginkannya?! Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kedua, dengan tidak diformalkannya syariat Islam berarti hanya akan menciptakan peluang untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main hakim sendiri.

Selain itu, bila konsisten dengan istilah substansi, maka semestinya substansi dalam keseluruhan ajaran Islam itu adalah ketaatan dan ketundukan kepada Allah Swt. secara total dalam semua hal. Itulah yang disebut ibadah[10]. Dengan kata lain, mereka yang menghendaki penerapan Islam substansinya saja (seperti yang penting adil, kesamaan, dsb.) gagal menangkap substansi ajaran Islam itu sendiri. Allah Swt. sendiri tegas-tegas memfirmankan hal ini, “Tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (TQS adz-Dzariyat [51]:56). Bila substansi yang dipahami seperti ini maka sikap yang diambil adalah memperjuangkan dan menjalankan tegaknya syariat Islam.

d. Sekarang sudah dapat melaksanakan syariat Islam dengan baik, seperti ibadah, UU perkawinan, UU peradilan agama, dan sebagainya. Kelengkapan Din Islam memantapkan Islam sebagai satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Allah Swt, Pencipta seluruh makhluk, Yang Mahaadil dan Maha Mengetahui. Ajarannya yang terperinci, lengkap, dan mampu menjawab seluruh problem umat manusia sepanjang zaman telah dijamin sendiri oleh Allah Swt,“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS an-Nahl [16]: 89). Di sisi lain, al-Quran dan Sunah Nabi memuat hukum-hukum yang lengkap tentang ibadah, berpakaian, makanan, minuman, hukum-hukum tentang ekonomi-perdagangan, harta, distribusi harta, ghanimah, fa’i, jizyah, kharaj, tentang peradilan tindakan kriminal, hudud, ta’zir, persaksian, pembuktian (bayyinaat), mahkamah, hingga ke perkara jihad, gencatan senjata, mobilisasi, perjanjian damai, atau utusan/delegasi. Belum lagi perkara-perkara yang menyangkut pendidikan, aturan sosial, keluarga/rumah tangga, dan seterusnya. Semua itu berupa sistem hukum yang cakupannya meliputi seluruh bentuk perbuatan manusia, baik antara manusia satu dengan yang lain, antara rakyat dan negara, antara negara Islam dengan negara lain, antara muslim dan nonmuslim, antara hamba dengan Allah Swt. sebagai al-Khalik. Para ulama dan fukaha terdahulu ataupun sekarang senantiasa memenuhi kitab-kitab hukum/fikih karangan mereka dengan seluruh pembahasan-pembahasan tadi. Dimulai dari bab Thaharah, sampai bab Peradilan, Jihad, atau Imamah (Ulil Amri).

Allah Swt. mewajibkan kita melaksanakan semua itu. Bila telah menjalankan sebagian tidak puas dengan itu saja, namun akan melakukan yang lain sedemikian rupa hingga dapat menerapkan Islam secara total. Banyak pertanyaan dapat dimunculkan, sudahkah pakaian ditetapkan berdasar Islam? Sudahkah produk makanan-minuman atas dasar Islam? Apakah aturan sosial antara pria-wanita, struktur kewajiban nafkah di antara ahli waris, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, atau sistem perburuhan/ketenagakerjaan, ekonomi sudahkah dijalankan atas dasar Islam? Apakah hak-hak anak dan hak-hak rakyat umumnya telah diperolehnya sesuai dengan syariat Islam? Sudahkah hubungan luar negeri didasarkan pada syariat Islam sehingga dakwah Islam oleh negara ke negara lain berjalan? Bila jawabannya belum, tidak layak menyatakan tidak perlu menegakkan syariat Islam dengan dalih sudah diterapkannya segelintir hukum Islam. Apa bedanya hukum yang satu dengan hukum yang lain, padahal sama-sama berasal dari Allah Swt? Tidak ada bedanya!

e. Hukum Islam itu kejam dan diskriminatif. Tuduhan ini sebenarnya lebih menggambarkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita mau berpikir, manakah sesungguhnya yang lebih baik, misalnya apakah masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum Islam ataukah masyarakat yang permisif dan kacau; yang di dalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, zina diaggap biasa dengan dalih suka sama suka, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif, atau hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba)? Tentu, masyarakat jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Sebaliknya, yang kedua pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara dengan hukum rimba, yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (Lihat QS al-A’râf [7]: 179). Akan tetapi, anehnya, banyak masyarakat masih memandang bahwa masyarakat dan negara Sekuler-Kapitalistis yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern (atau lebih tepat ’sok modern’), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional, konservatif, bahkan ‘primitif’. Mana yang lebih kejam, hukum yang memotong tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam pengadilan ataukah hukum yang memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi seorang penjahat kawakan?

Boleh jadi orang yang dikenai hukuman Islam yang keras dan tegas menyatakan kejam. Dari satu sisi karena ia ingin selamat, dan pada sisi lain karena tidak yakin terhadap ke-Mahaadilan Allah Swt. yang telah menetapkan hukum tersebut. Sebaliknya, orang yang dizalimi, lalu pelaku kezaliman tersebut akan terpenuhi rasa keadilannya. Sebagai contoh, ada seseorang yang suaminya dibunuh. Setelah melewati proses pembuktian, terbukti pelakunya si anu. Vonis pun dijatuhkan hanya 14 tahun. Sang isteri pun kecewa, rasa keadilannya terusik, ia pun tetap menuntut diberlakukan hukum bunuh atas pembunuh suaminya itu. Andai saja diberlakukan hukum bunuh maka yang akan berteriak kejam adalah si pembunuh itu dan mereka yang mendukungnya! Orang lain siapa pun dia yang tidak pernah melakukan hal tersebut tidak khawatir sedikit pun. Mengapa hukum qishash yang diberlakukan setelah menjalani proses pembuktian dikatakan kejam, sementara pembunuhan yang jelas-jelas telah dilakukan sesuai kehendaknya tidak dikatakan kejam? Begitu pula dengan tindak kriminal lainnya.

Pernyataan bahwa hukum Islam itu kejam, diskriminatif, atau primitif merupakan dalil ketakmengertian pengucapnya terhadap paradigma syariat Islam. Misalnya, pencurian. Dalam Islam, (1) pendidikan gratis sehingga setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi ahli sesuatu, (2) lapangan kerja wajib disediakan oleh negara, warga harus mencarinya, (3) bila pendapatan tidak cukup atau tidak dapat bekerja karena sakit tak tersembuhkan, maka ahli waris wajib menafkahinya, (4) bila ahli warisnya tidak menafkahi maka negara berhak dan berkewajiban memaksanya, bahkan memberinya sanksi, (5) bila ahli warisnya tidak mampu, negara wajib menjamin kebutuhan pokoknya, (6) andai kas negara lagi kosong, maka negara memobilisasi kemampuan kaum muslim untuk membantunya, (7) dalam Islam pajak tidak ada secara permanen, yang ada hanya zakat, itu pun untuk yang telah mencapai nisab, (8) bila sedang musim paceklik, pencuri tidak dipotong tangan. Andai saja dalam kondisi syariat Islam ditegakkan seperti ini, lalu ada seseorang tetap saja mencuri lebih dari ¼ dinar (1 dinar=4,25 gram emas), maka mencuri dalam realitas demikian memang ‘keterlaluan’. Setelah terbukti, maka barulah diterapkan potong tangan. Orang yang memahami paradigma demikian akan menyatakan, wajar hukum Islam tegas seperti itu. Kondisi sudah tercipta sedemikian rupa, tapi tetap mencuri juga, bukankah orang yang melakukannya memang betul-betul ‘keterlaluan’? Apalagi orang mukmin, mereka hanya menyatakan “Kami mendengar, dan kami mematuhi hukum Allah Swt., Dialah Zat Mahaadil!” Begitu pula dalam hukum rajam, qishash, dan hukum lainnya. Anehnya (atau barangkali tidak anehnya), justru yang diangkat kepermukaan itu adalah hukum kriminal semata, sedangkan hukum Islam dalam masalah pendidikan, ekonomi bagi kepentingan rakyat dan sebagainya malah ditimbun dan disembunyikan. Tidak fair. Bila kondisinya demikian, nyatalah ungkapan bahwa hukum Islam itu kejam tidak lebih dari sekadar tuduhan miring.

Benar, hukum Islam berasal dari Allah Zat Mahaadil. Allahlah sebaik-baik pembuat hukum (Lihat QS at-Tîn). Orang yang mengaku beriman bahwa Allah Swt. Mahaadil tidak akan menentang hukum-Nya dengan dalih kejam dan diskriminatif.

f. Syariat Islam itu primitif. Kembali kepada syariat Islam berarti kembali ke zaman unta. Hal ini menggambarkan ketakpahaman mereka yang menuding terhadap syariat Islam. Disangkanya menerapkan syariat Islam berarti tidak boleh menggunakan pesawat, mobil, motor, komputer baju necis, dan sebagainya. Sebaliknya, haruslah lusuh, ke mana-mana berjalan kaki, tak tersentuh teknologi. Padahal, pandangan demikian merupakan cara untuk menghalangi umat dari Islam. Siapa pun yang paham akan syariat Islam akan menyatakan bahwa Islam itu membentuk masyarakat modern yang beradab.

Islam tidak menolak modernisasi, bahkan bila dirunut dalam sejarah, justru Islam-lah yang mengajari Barat yang sekarang dianggap sebagai kiblat modernisasi, ketika mereka tengah hidup di abad kegelapan, menemukan dasar-dasar kehidupan modern. Melalui pengembangan sains dan teknologi yang berkembang pesat di masa kejayaan Islam, peradaban Islam telah memberikan kontribusi luar biasa bagi kemajuan Barat.


Islam melalui syariatnya bukan akan menghentikan modernisasi, melainkan meletakkan modernisasi agar tetap dalam kerangka pengabdian kepada Allah. Bila modernisasi diartikan sebagai pengembangan madaniah, yakni produk-produk teknologi yang bersifat material guna peningkatan mutu, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam kehidupan manusia, baik dalam bidang komunikasi, transportasi, produksi, kesehatan, pendidikan, perumahan, makanan, maupun pakaian dan sebagainya, Islam sama sekali tidak keberatan. Hal itu akan diteruskan, bahkan akan ditingkatan oleh Islam. Artinya, manusia boleh saja menggunakan semua perangkat hasil pengembangan sains dan teknologi. Hanya saja, pola kehidupannya, baik dalam konteks kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat haruslah tetap dalam koridor syariat. Bukan modernisasi yang justru mempurukkan derajat manusia sebagaimana kini terlihat dalam kehidupan Barat, yang telah menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya.


Barat telah salah mengartikan modernisasi. Apakah sebuah kemodernan (ataukah justru primitif) bila wanita yang seharusnya dimuliakan justru dijadikan sebagai objek seksual, berjalan melenggak lenggok memperagakan model rancangan baju yang nyaris telanjang di bawah tatapan ratusan pasang mata dan sorotan kamera atau dipajang dalam ruang kaca untuk kemudian dinikmati kemolekan tubuhnya dengan imbalan sekian lembar uang? Apakah juga sebuah kemodernan (ataukah justru primitif) bila laki-laki dan perempuan berhubungan seksual tanpa ikatan pernikahan dengan alasan suka sama suka atau “pernikahan” tapi antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan? Apakah sebuah kemodernan, membiarkan sistem ekonomi berkembang liar ketika pemilik modal tak ubahnya seperti lintah yang menghisap darah manusia lain, atau orang mendapatkan keuntungan tanpa kerja sama sekali sebagaimana tampak dalam pembungaan uang? Apakah sebuah kemodernan (atau justru primitif) tindakan menjual barang-barang milik umum yang bukan milik negara kepada sekelompok swasta, baik pribumi maupun asing hingga rakyat sebagai pemiliknya yang sah tak mendapatkan apa-apa? Apakah sebuah kemodernan (atau justru primitif) demi menguasai negara lain dua negara yang berdekatan diprovokasi secara halus dan licik untuk berperang satu sama lain, lalu senjata kedua belah pihak dipasok olehnya? Ini adalah sebagian contoh yang akan diluruskan oleh syariat dalam proses modernisasi masyarakat.

g. Syariat Islam tidak bersifat tetap, sehingga perlu modifikasi terhadap syariat sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Dengan memahami fakta yang ada di tengah-tengah manusia, tampak nyata realitas dan hakikat benda itu tetap. Misalnya, aktivitas mencuri. Dalam pandangan Islam mencuri merupakan aktivitas mengambil barang secara sembunyi-sembunyi dari pemiliknya atau yang mewakilinya, dengan syarat telah mencapai ukuran yang mengharuskan potong tangan. Hukum perbuatan mencuri adalah haram. Sanksinya adalah potong tangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.:

﴿وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ﴾

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana” (QS al-Maa-idah [5]: 38).

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah bersabda:

“Potong tangan diterapkan pada pencurian seperempat dinar atau lebih” (HR Imam Bukhari).

Kini berkembang sarana-sarana dan teknik pencurian, demikian pula untuk memelihara harta diperlukan alat-alat penjagaan yang ketat termasuk peralatan elektronik, sehingga pencurian pun menjadi aktivitas yang memerlukan kesungguhan berpikir dan pengalaman. Namun, apakah perubahan dalam cara dan teknik seperti ini mengubah hakikat pencurian dan realitasnya seperti yang dijelaskan oleh hukum syara’? Jawabannya tentu saja tidak. Bila demikian, sementara al-Quran itu tetap al-Quran dan Hadis pun tetap Hadis, bagaimana mungkin berpikir untuk mengubah hukum? Bukankah hukum ini merupakan pemecahan yang benar yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai Pemilik Pahala dan Siksa, serta Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan?

Contoh lain, hakikat khamar. Sekalipun penamaannya beraneka ragam, metode pembuatannya bermacam-macam, dan kemasannya juga berbeda-beda, seperti whisky, bir, sampagne, sake, dan sebagainya, hakikatnya tetap khamar, yakni minuman yang memabukkan dan merusak akal yang hukumnya haram itu. Allah Swt. berfirman:

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, undian nasib, dan berhala merupakan najis dan perbuatan setan, maka jauhilah oleh kalian agar kalian beruntung” (QS al-Maa-idah [5]:90).

Bila hakikat benda tersebut tetap tidak berubah, mungkinkah orang berakal mengatakan bahwa hukum Allah dalam hal tersebut harus berubah?

Siapa pun yang mengelaborasi hakikat perbuatan dan benda-benda adalah tetap dari dulu sampai sekarang, sesuai dengan batasan-batasan hukum syara’. Memang, terjadi perubahan. Namun, perubahan tersebut pada perkara teknis, cara, ataupun bentuknya semata, sedangkan hakikatnya adalah sama saja. Jadi, tetapnya hakikat perbuatan dan benda, disertai dengan terjaganya syariat Islam menunjukkan pula bahwa syariat Islam itu bersifat tetap sampai hari Kiamat. Yang berubah adalah objek hukum itu sendiri.

II. Kondisi Faktual di Masyarakat

a. Negara-negara Islam yang menerapkan syariat Islam seperti Sudan, Afganistan, Arab Saudi, Iran tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan bahkan cenderung pada kegagalan. Sebenarnya, negara-negara tersebut mengalami kegagalan justru karena tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa penerapan syariat Islam secara parsial akan memunculkan masalah baru. Negara-negara tersebut memang telah menerapkan syariat Islam terbatas pada hukum hudud, jinayat, dan al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum perdata). Namun negara-negara tersebut tidak menjalankan hukum-hukum Islam di bidang kebijakan ekonomi, pemerintahan dan ketatanegaraan, politik dalam dan luar negeri, militer, pergaulan sosial, pendidikan, dan lain-lain. Apalagi negara-negara tersebut dan negeri-negeri muslim lainnya sistem keamanannya sangat bergantung kepada AS dan sekutunya. Karenanya, ketakberhasilan yang terjadi di negeri-negeri muslim tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalih untuk menolak syariat Islam. Sebaliknya, yang sudah benar-benar terjadi adalah rusaknya kemanusiaan pada saat diterapkannya sistem Sekuler-Kapitalistis.

b. Akan terjadi tirani mayoritas (muslim) terhadap minoritas (nonmuslim) karena masyarakat bersifat pluralis yang heterogen. Pertama, hal ini sebenarnya mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas masyarakat. Pada kenyataannya, hukum manapun yang diterapkan tidaklah diperuntukkan hanya bagi kalangan yang homogen saja. Contohnya, di Amerika tidak semua penduduknya Kristen, akan tetapi aturan yang diterapkannya adalah Kapitalisme. Di Indonesia, terdapat 4 agama resmi yang diakui, tetapi hukum yang diterapkan juga Kapitalisme atas dasar Sekularisme. Di Cina, puluhan juta umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan aturan Sosialisme-Komunisme. Jadi, tidak rasional menolak ditegakkannya syariat Islam dengan alasan heterogenitas penduduknya. Mereka sendiri tidak pernah melarang penerapan sistem Kapitalisme meskipun tidak semua penduduk berideologi Kapitalisme; tidak pernah juga berteriak tidak boleh menerapkan Sosialisme-Komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya berideologi Sosialisme-Komunisme. Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada homogen atau heterogen, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur penduduk (apa pun agamanya) demi terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat. Jawabannya, tentu saja Islam!

Kedua, adanya ketidakpahaman terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu tidak hanya muslim, tetapi juga orang Yahudi dan Nasrani. Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad saw. dan para khalifah penerusnya selama lebih dari seribu tahun orang-orang nonmuslim bisa hidup sejahtera di bawah naungan Islam. Misalnya, dimasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, beliau menjatuhkan hukum qishash (pembalasan setimpal) kepada anak pejabat Gubernur Mesir yang mencambuk seorang anak Nasrani dari suku Qibthi.

Rasulullah saw. bersabda :

“Barang siapa mengganggu seorang dzimmi (nonmuslim yang menjadi warga negara Daulah Islamiah), sungguh (berarti) ia telah menggangguku. Dan, barang siapa yang menggangguku, sungguh ia telah mengganggu Allah” (HR Thabrani).

Ketiga, tidak adanya penghayatan bahwa syariat Islam itu adalah untuk kebaikan bersama. Sebagai contoh, ketika riba dilarang sebagai landasan perekonomian, hal ini tidaklah ditujukan hanya bagi kepentingan kaum muslim, tetapi juga untuk kepentingan penduduk nonmuslim. Faktanya, akibat riba kini Indonesia dijerat utang luar negeri. Semua penduduk, muslim dan nonmuslim menanggung kerugian ini.

Dalam sejarah peradaban Islam, bisa dikatakan tidak pernah penerapan syariat dilakukan hanya dalam masyarakat homogen atau yang seluruh warganya muslim. Masyarakat yang berhasil dibentuk di Madinah di awal perkembangan Islam misalnya, atau di Irak dan Mesir pada perkembangan selanjutnya, selalu ada di dalamnya warga nonmuslim. Islam memang tidak memaksa orang untuk memeluk akidah Islam. Karena itu, sekalipun dalam masyarakat Islam seperti saat Rasulullah memimpin di Madinah atau ketika Islam telah berkembang sampai ke Irak atau Mesir, warga nonmuslim sebagai ahl-dzimmah hidup dengan damai di tengah-tengah masyarakat Islam, saat itu harta, jiwa dan kehormatan mereka dilindungi.


Siapa saja yang mencederai mereka, mengambil hartanya atau menodai kehormatannya akan dihukum setimpal kendati pelakunya beragama Islam. Dalam hal ini, ahl-dzimmah diperlakukan sama dengan warga muslim. Andai Islam tidak memiliki ketentuan yang gamblang tentang bagaimana memperlakukan warga nonmuslim dan perilaku orang-orang Islam–katakanlah seperti serdadu Serbia yang membantai secara sadis warga Bosnia, niscaya tidak akan terlahir mantan Sekjen PBB, Boutros Boutros Ghali, anak keturunan suku Koptik di Mesir yang beragama Kristen dan Deputi PM Irak, Thariq Azis, yang juga beragama Kristen, karena nenek moyangnya keburu habis dibantai. Spanyol yang selama sekitar 800 tahun dikuasai oleh Islam disebut Spanyol in three religion, karena di samping Islam yang berkuasa, hidup damai dan sentosa warga yang beragama Yahudi dan Nasrani.


Sepanjang sejarah kehidupan Islam, tidak tercatat pengusiran apalagi pembantaian warga minoritas nonmuslim oleh mayoritas muslim. Yang ada adalah justru sebaliknya, pengusiran warga muslim oleh mayoritas nonmuslim di mana-mana, seperti yang terjadi di Bosnia, Kosovo, Timor Timur dan sebagainya.


Masyhur akan keelokan budi orang-orang Islam dan ketangguhan sistem Islam dalam melindungi warga nonmuslim, membuat Islam dengan mudah masuk ke berbagai wilayah yang semula penduduknya nonmuslim. Amr bin Ash ketika menaklukkan Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi Kristen, dibantu oleh penduduk suku Koptik yang juga beragama Kristen. Pasukan Islam bahkan dielu-elukan di kanan-kiri jalan oleh penduduk ketika masuk Polandia.


Bila terbaca bahwa Islam juga mencita-citakan tegaknya sebuah adikuasa melalui Khilafah Islam yang akan menaungi umat Islam seluruh dunia di bawah kepemimpinan seorang Khalifah, semata-mata sebagai satu-satunya sarana yang ditetapkan oleh syariat untuk sempurnanya pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh. Khilafah berfungsi untuk melindungi warganya, muslim dan nonmuslim, dan mewujudkan kehidupan yang Islami, damai, sejahtera, dan sentOsa. Khilafah juga melakukan dakwah dan jihad yang berfungsi sebagai kekuatan untuk menggerakkan penyebaran risalah Islam yang berintikan kalimah tauhid dan akan membentuk tata dunia baru yang sangat berbeda dengan tata dunia yang dibentuk oleh negara-negara Barat sekarang ini.


Melalui tata dunia yang ada, Barat menyebarkan ideologi sekularisme. Di bidang ekonomi menyebarkan Kapitalisme yang eksploitatif, di bidang politik menyebarkan pertentangan, di bidang budaya menyebarkan budaya permisif yang berintikan amoralisme, di bidang pendidikan menyebarkan materialisme. Lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF dan World Bank dibentuk semata untuk melancarkan semua tujuan-tujuan ideologisnya itu. Penindasan dan eksploitasi seakan menjadi tindakan sah setelah dilegalkan oleh badan-badan dunia bentukan negara-negara Barat itu. Sementara itu, melalui khilafah, Islam akan menyebarkan tauhid yang berintikan pembebasan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Melalui syariat yang harus dilaksanakan sebagai konsekuensi dari tauhid, akan tercipta tatanan ekonomi yang adil, budaya yang luhur, pendidikan yang meneguhkan visi dan misi penciptaan manusia, dan hubungan antarnegara yang didasarkan pada prinsip-prinsip akidah Islam. Lebih dari 1000 tahun khilafah memimpin dunia, telah terbentuk peradaban yang agung. Namun, kurang dari 200 tahun dominasi Barat, yang muncul adalah peradaban yang kacau, pertentangan, eksploitasi, perang tiada henti, ketidakadilan, dan sebagainya.

c. Masyarakat masih belum siap untuk menerapkan syariat Islam. Sebenarnya yang terjadi saat ini justru sebaliknya, masyarakat yang notabenenya adalah kaum muslim sangat merindukan diterapkannya syariat Islam. Akan tetapi, hal tersebut kemudian dibelokkan oleh tokoh-tokoh muslim yang berada di ormas-ormas ataupun parpol Islam yang masih ragu terhadap syariat Islam. Segelintir tokoh-tokoh tersebutlah sebenarnya yang belum siap menerapkan syariat Islam yang kemudian mengatasnamakan masyarkat. Kita pun layak untuk bertanya, ketika tokoh-tokoh ormas dan parpol tersebut secara implisit ataupun eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya terhadap formalisasi syariat dalam negara, apakah massanya dari kaum muslim ditanya terlebih dahulu kesiapannya terhadap hal itu? Ketika di Indonesia diterapkan lebih dari 80% hukum Belanda (hingga sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah siap atau belum? Ketika aturan untuk menerapkan syariat Islam bagi muslim Indonesia dihapus oleh PPKI, apakah rakyat ditanya dulu siap atau tidak dengan penghapusan itu? Dulu, saat diterapkan demokrasi terpimpin dan demokrasi parlementer, apakah rakyat ditanyai kesiapannya lebih dulu? Di Indonesia, sesuai hasil penelitian IAIN Syarief Hidayatullah yang ditayangkan Trans TV (16/2/2002) menyatakan bahwa 64% penduduk Indonesia setuju diterapkan syariat Islam. Apalagi, kini tuntutan penegakkan syariat Islam menggema di mana-mana. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negeri-negeri muslim lainnya.

d. Penerapan syariat Islam akan memicu meruncingnya disintegrasi bangsa. Disintegrasi bangsa sebenarnya sangat tidak berhubungan dengan masalah penerapan syariat Islam. Misalnya, lepasnya Timor Timur bukan disebabkan oleh masalah penerapan syariat Islam. Masalah disintegrasi yang dibenturkan dengan masalah penerapan syariat Islam sebenarnya merupakan lagu lama yang direlease ulang. Kita masih ingat sejarah ketika pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka, terjadi manuver licik yang dilakukan oleh PPPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan modus bahwa kalau ketetapan BPUPKI yang memuat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ditetapkan sebagai konstitusi negara, golongan Kristen dan Katolik dari Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari negara kesatuan Indonesia karena merasa didiskriminasikan. Akhirnya, Piagam Jakarta disingkirkan. Begitu pun di orde reformasi, Timor Timur memisahkan diri juga. Ancaman semacam ini memang akan dijadikan senjata pamungkas untuk menolak penerapan syariat Islam. Kalau umat Islam berhenti berjuang untuk menerapakan syariat Islam karena diisukan menyulut disintegrasi bangsa, maka kita akan terperosok untuk yang kedua kalinya pada lubang yang sama.

Bila tuduhan tersebut keluar dari mulut orang kafir barangkali dapat dimaklumi. Namun, jika keluar dari ucapan seorang muslim patut kita bertanya apakah betul ucapan tersebut bahwa Islam tidak dapat menyatukan manusia? Padahal, dulu sebelum Islam datang, kabilah-kabilah senantiasa saling bermusuhan. Tak henti-hentinya. Tetapi, setelah diutusnya Rasul dan berhasil mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, sejarah mencatat Islam berhasil menyatukan manusia dari berbagai jenis tersebut. Ini adalah sejarah, realitas! Bahkan, mampu menyatukan 2/3 dunia. Tuduhan jika Islam diterapkan akan menyebabkan disintegrasi sama saja dengan menolak realitas keberhasilan Islam menyatukan berbagai bangsa. Menolak realitas sama saja dengan penolakan seseorang dilahirkan oleh seorang ibu.

Lebih dari itu, Allah Swt. menegaskan bahwa yang dapat menyatukan itu adalah Islam itu sendiri (hablum minallâh). Berpegang pada Islam menyatu, melepaskan Islam bercerai-berai. Allah Swt. berfirman:

﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا﴾

“Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah (Islam) semuanya dan janganlah bercerai-berai” (QS Âli ‘Imrân[3]:103).

﴿وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ﴾

“Dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertaqwa” (QS al-An’âm[6]:153).

Jadi, manakah yang layak dipercaya, apakah pernyataan manusia “Jika diterapkan Islam akan terjadi cerai-berai/desintegrasi” ataukah firman Allah Zat Mahabenar yang menyatakan bahwa justru jika Islam ditegakkan akan terbentuk kesatuan dan jika tidak akan tercerai-berai?

e. Para pendiri bangsa (the founding fathers) telah merumuskan negara Indonesia seperti saat ini, yaitu syariat Islam berada di luar aspek pengaturan negara. Hal ini menyangkut kenyataan sejarah, oleh karena itu mari kita lihat sejarah masalah ini secara lebih cermat. Sesungguhnya Piagam Jakarta yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia 9 (satu orang di antaranya Kristen dari pergerakan Nasionalis, yakni Mr. A.A. Maramis) adalah hasil rumusan resmi yang dikeluarkan oleh wakil bangsa yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan merupakan “gentleman’s agreement”. Dalam sidang BPUPKI 10 Juli 1945, Soekarno sebagai Ketua Panitia 9 menyampaikan bahwa “Piagam Jakarta” merupakan hasil akhir dari kompromi yang diperoleh secara susah payah dari kalangan Nasionalis dan kalangan Islam. Namun, pada sidang 11 Juli seorang Protestan bernama Latuharhary menolak kata kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya itu. Pada sidang tanggal 14 Juli 1945 tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadi Kusumo (yang didukung oleh Kyai Sanusi) usul agar kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Tetapi, sidang akhirnya memutuskan dipertahankannya hasil kompromi tersebut. Berkaitan dengan pasal 29 UUD 1945 yang dalam rancangan Batang Tubuh Konstitusi yang dibuat oleh BPUPKI sebagai pasal 28, Ki Bagus Hadi Kusumo kembali mengusulkan agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Sidang 15 Juli 1945 itu kembali menolak usulan Ki Bagus Hadi Kusumo dan secara mufakat menyetujui hasil panitia yang dilaporkan oleh Prof. Supomo yaitu: Pasal 28 Bab X tentang Agama, (1) Negara berdasar atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. Kemudian, hanya dalam tempo 2 jam 45 menit (dari jam 11.30 sampai 13.45) isi pembukaan dan 7 kata dalam Piagam Jakarta itu dihapus[11]. Padahal, perubahan yang ditolak oleh elite politik tersebut adalah perubahan kepada konsep awal. Bila demikian, terlihat bahwa alasan ‘tidak ingin mengkhianati para pendiri bangsa’ seakan-akan heroik, namun sebenarnya hanyalah retorika untuk menolak syariat Islam.

Apalagi, sejatinya syariat Islam itu tidak hanya untuk diterapkan pada kaum muslim, tetapi juga untuk seluruh warga. Allah Swt memerintahkan agar syariat Islam diberlakukan bagi semua orang yang hidup di bawah naungan Daulah Islam. Di antara ayat al-Quran yang memerintahkan itu adalah:

﴿إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ﴾

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab ini (al-Quran) kepadamu dengan membawa kebenaran supaya engkau menghukumi di antara manusia (an-nâs) dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu…” (QS an-Nisâ [4]:105).


Ayat tersebut (dan ayat-ayat senada) bermakna umum untuk seluruh manusia. Artinya, syariat Islam tidak hanya wajib diberlakukan bagi pemeluk-pemeluknya, tetapi kepada semua manusia. Karena itu, dalam konteks Indonesia, tidak cukup hanya amandemen pasal 29 saja tapi perlu UUD syariat (ad-Dustûr al-Islâmi). Selain itu, siapa pun yang membaca sirah Rasul akan mengetahui bahwa negara yang beliau bentuk sejak di Madinah bukan hanya terdiri dari kaum muslim. Ternyata, justru Islam mampu menyatukan Jazirah Arab yang terdiri dari banyak kabilah serta keyakinan yang berbeda.


Dengan demikian, secara i’tiqadi, anggapan bahwa penerapan syariat Islam hanya dapat dilakukan pada masyarakat yang seluruhnya muslim adalah tidak tepat. Allah Swt. memerintahkan agar syariat Islam diberlakukan bagi semua orang yang hidup di bawah naungan Daulah Islam.


Jelaslah Allah Swt. mewajibkan tegaknya syariat Islam, sementara itu dengan membawa-bawa nama the founding fathers mereka justru menolak kewajiban tersebut. Padahal, andai saja the founding fathers itu sekarang hidup dan melihat keadaan yang carut marut jauh dari kemanusiaan seperti ini, sedangkan pada sisi lain terdapat alternatif solusi berupa syariat Islam, maka niscaya mereka yang berpikiran jernih akan mendukungnya. Namun, lagi-lagi, penolakan syariat Islam seakan logis dengan dalih the founding fathers. Andaikan memang demikian, layakkah sebagai seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah Swt. dan al-Quran menolak kewajiban dari Allah Swt. untuk menerapkan dan melaksanakan syariat Islam hanya dengan alasan para pendahulu? Berkaitan dengan hal ini Allah Swt. mengingatkan:

﴿وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوْا وَجَدْنَا عَلَيْهَا ءَابَاءَنَا وَاللهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُوْنَ عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ﴾

“Apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata,’Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya’. Katakanlah,’Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan keji.’ Mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” (QS al-A’râf[7]:28).
Sikap Kaum Muslim

Upaya mengembalikan akidah dan hukum syariat Islam sebagai konstitusi dan undang-undang dalam kehidupan masyarakat di dunia Islam adalah merupakan usaha mulia yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Lebih dari itu, merupakan kewajiban dari Allah Swt. bagi kita. Oleh karena itu, kini saatnya ujian iman bagi kaum muslim, turut memperjuangkan Islam demi kebahagiaan dunia-akhiratnya atau netral bahkan menentangnya. Allah Swt. mengingatkan kita:

﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَكْفُرُوْا بِهِ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَ لاً بَعِيدًا﴾

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (QS an-Nisaa’[4]: 60).

Alhamdulillâh.